Cryptocurrency, “Roket” Penggenjot Ekonomi Syariah?

Istilah cryptocurrency kembali melejit setelah terjadinya halving Bitcoin pada Jumat,19 April 2024 lalu dan juga karena Akademi Crypto-nya Timothy Ronald yang harganya hampir mirip harga Honda BeAT terbaru. Buat yang gak tahu halving itu apa, singkatnya halving adalah siklus empat tahunan di mana reward dari mining Bitcoin dipotong 50% demi menjaga kelangkaan Bitcoin itu sendiri. Cryptocurrency memang menjadi sebuah instrumen keuangan yang menarik akhir-akhir ini. Sistem kerjanya yang berbeda dari yang lain menawarkan sensasi yang berbeda juga dari pada yang lain. Sebuah hal yang menarik untuk melihat cryptocurrency dari sudut pandang perekonomian syariah. Cryptocurrency yang dibayang-bayangi sifat ghoror (tidak jelas), dhoror (risiko), dan maysir (judi/untung- untungan) terkadang sudah dicap buruk oleh para pakar fiqh muamalah. Tapi apakah benar tidak ada celah sama sekali bagi cryptocurrency untuk masuk ke ekosistem perekonomian syariah? Yuk kita cek lebih dalam.

Cryptocurrency itu instrumen yang powerful. Sistemnya terdesentralisasi, bergerak dengan blockchain, peminatnya luas, sudah menjamur di berbagai belahan dunia. Sebuah instrumen yang wow jika dipakai untuk mengembangkan ekonomi. Tercatat, inklusi keuangan syariah masih rendah di angka 12,12% yang masih sangat jauh dari indeks keuangan secara umum yang mencapai 85,10% (OJK, 2023). Kalau kita mau menggenjot inklusi keuangan syariah ini, bisa gak ya pake crypto?

Cryptocurrency menawarkan berbagai kemudahan dalam penggunaannya. Kemudahan inilah yang membuatnya cepat sekali menjamur bahkan di kalangan anak-anak muda. Kemudahan itu antara lain: (1) mudahnya akses untuk berkecimpung di dunia crypto tanpa perlu bergantung dengan bank, (2) jangkauan crypto yang mendunia dan para pengguna langsung terhubung satu sama lain tanpa perantara pihak ketiga, (3) cepatnya proses transaksi menggunakan cryptocurrency dibanding dengan menggunakan bank. Sebuah langkah alternatif yang perlu dipertimbangkan kalau kita mau nge-boost inklusi keuangan syariah.

Namun sebelumnya kita perlu tau tentang legalitas cryptocurrency dari sudut pandang syariah, halal gak sih menggunakan cryptocurrency? Kalo memiliki nilai yang stabil, seperti yang memiliki underlying asset berupa emas atau uang fiat misalnya, atau yang lebih populer dengan sebutan stablecoin, maka cryptocurrency halal untuk digunakan. Alasannya karena dengan begitu kita bisa menghilangkan sifat ghoror dan maysir-nya. Cryptocurrency yang seperti ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan uang elektronik yang biasa kita gunakan. Di antara perbedaannya adalah adanya sistem blockchain dan desentralisasi pada cryptocurrency. Adapun jenis cryptocurrency yang harganya naik turun tak beraturan secara drastis maka yang seperti ini tidak boleh. Nah, dilihat dari sini, cryptocurrency yang berjenis stablecoin boleh dan halal kita gunakan untuk pembayaran zakat, infak, sedekah, transaksi jual beli, dan lain-lain. Sebagaimana kita menggunakan uang elektronik.

Namun sayangnya di Indonesia cryptocurrency hanya sah sebagai aset dan komoditas, bukan sebagai alat tukar atau pembayaran. Dengan pembatasan ini maka penamaan cryptoasset lebih tepat daripada penamaan cryptocurrency. Pembatasan tersebut tertuang dalam pernyataan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI) yang berbunyi, “Aset Kripto tetap dilarang sebagai alat pembayaran sesuai UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, namun dapat dikategorikan sebagai komoditi yang diperdagangkan di Bursa Berjangka”. Pembatasan ini lah yang bisa dibilang “menyandung” perjalanan cryptocurrency di Indonesia. Larangan BAPPEBTI ini bukan tidak berdasar. Selain bertentangan dengan undang-undang, penggunaan cryptocurrency tidak terlepas dari risiko yang cukup berbahaya. Sifat cryptocurrency yang terdesentralisasi membuatnya sulit untuk diatur jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Penggunanya yang anonim juga membuka peluang untuk penggunaan cryptocurrency di sektor-sektor yang ilegal. Tapi kalau ada masjid, lembaga zakat, atau yayasan yang menerima pembayaran zakat, infak, dan sedekah dengan cryptocurrency, menurut pandangan pribadi penulis hal itu bukanlah sesuatu yang keliru karena toh secara syariat cryptocurrency sudah dianggap sebagai alat tukar.

Sebagai penutup, dapat kita simpulkan bahwa sebenarnya hukum syariah sudah memberikan lampu hijau untuk penggunaan cryptocurrency, tentu dengan syarat dan ketentuannya. Hanya saja peraturan perundang-undangan Indonesia masih agak mengekang perkembangan cryptocurrency dalam perekonomian. Dengan kata lain, cryptocurrency itu punya potensi jadi “roket” untuk mendongkrak perekonomian syariah, namun peraturan kita lah yang masih membatasinya dan hanya menjadikannya “layangan” yang bergerak santai dan tidak bergerak bebas dalam mengembangkan industri perekonomian syariah.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *