Keuangan syariah bukan hanya sekadar alternatif pembiayaan yang solutif dalam menawarkan solusi finansial yang selaras dengan prinsip-prinsip islam. Di Indonesia, ia telah menjelma sebagai pilar penting dalam sistem keuangan nasional. Aset keuangan syariah diperkirakan mencapai US$4,9 triliun pada tahun 2025. Perkembangan ekonomi syariah Indonesia ditandai dengan indikator positif seperti peningkatan  indeks literasi ekonomi syariah dan pertumbuhan aset keuangan syariah. Keuangan syariah di Indonesia  diprediksi tumbuh positif pada 2025 dengan aset mencapai kisaran Rp3.157,9 triliun hingga Rp3.430,9  triliun, naik signifikan dari Rp2.744 triliun pada September 2024 (naik 11,9% yoy) (Achsien, CNBC Indonesia). 

Bukan sekadar di panggung nasional dalam kancah global pertumbuhan keuangan syariah juga berkembang pesat. Pertumbuhan ini ditandai dengan munculnya berbagai produk dan  lembaga keuangan syariah, seperti dalam sektor perbankan, pasar modal, dan fintech. Namun, kemajuan  industri selalu dihadapkan pada persoalan krusial yaitu ketidakseimbangaan antara kebutuhan inovasi dan  kepastian hukum. Kepastian hukum diperlukan sebagai jaminan perlindungan hukum dan kepatuhan  syariah, sementara inovasi menjadi motor pertumbuhan dan daya saing industri. 

Mengapa Kepastian Hukum Penting? 

Dalam dunia keuangan, kepastian hukum adalah landasan utama. Pelaku usaha, investor, dan  konsumen membutuhkan kejelasan meliputi akad apa yang digunakan, bagaimana skema risikonya, dan  siapa yang bertanggung jawab jika terjadi sengketa. Menurut Raharjo (2018), kepastian hukum dalam  keuangan syariah mencakup aspek legal formal dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Regulasi  seperti UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah telah memberikan kerangka hukum dasar, namun  belum sepenuhnya mencakup perkembangan inovasi digital. Oleh karena itu, sistem keuangan syariah dalam  kepastian hukum memiliki 2 dimensi: 

a. Kepastian Regulatif (Legal Certainty) 

Dibutuhkan kejelasan tentang hukum positif yang mengatur produk keuangan syariah. Meskipun UU  Perbankan Syariah (No. 21/2008) sudah menjadi fondasi, masih ada banyak celah hukum, terutama di  sektor fintech dan instrumen keuangan baru. 

Contoh: Tidak semua akad syariah telah diatur secara teknis dalam peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) atau BI (Bank Indonesia). Pengadilan  agama belum sepenuhnya menjadi tempat penyelesaian sengketa keuangan syariah. 

b. Kepastian Syariah (Shariah Compliance) 

Fatwa dari DSN-MUI (Dewan Syariah Indonesia – Majelis Ulama Indonesia) menjadi panduan, namun sifatnya belum mengikat secara yuridis. Akibatnya, satu  produk bisa halal menurut satu lembaga syariah, tapi diragukan oleh yang lain. Ini menciptakan  ketidakpastian bagi investor dan konsumen.

Tantangan: Inovasi Bergerak Lebih Cepat dari Regulasi 

Industri keuangan syariah menghadapi tekanan besar untuk berinovasi. Dunia bergerak ke arah  embedded finance dan open banking. Kemunculan teknologi finansial (fintech), blockchain, dan AI telah  melahirkan produk-produk baru dalam keuangan seperti peer-to-peer lending syariah, wakaf digital, hingga  smart contract berbasis akad Islami. Namun, majunya teknologi lebih cepat dibandingkan fatwa yang ada  sehingga regulasi seringkali tertinggal jauh. Ketegangan antara dua kutub menjadi hasil dalam hal ini: 

• Hukum butuh stabilitas dan kehati-hatian .

• Inovasi butuh fleksibilitas dan kecepatan .

Dilema pelaku industri menjadi nyata. Berinovasi terlalu cepat bisa menabrak batas hukum dan  syariah namun bergerak terlalu lambat bisa ditinggalkan pasar. Mereka membutuhkan kerangka regulasi  yang fleksibel namun tetap menjamin kepatuhan syariah. 

Membangun jembatan solusi dan strategi harmonis merupakan langkah yang konkret untuk menjawab  tantangan di atas. OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dan Bank Indonesia telah mencoba menjawabnya  dengan menghadirkan regulatory sandbox syariah, sebagai ruang eksperimen terbatas bagi inovasi  finansial yang diawasi langsung oleh OJK, BI, dan DSN-MUI. regulatory sandbox syariah menjadi tempat  meninjau dan menghasilkan “pre-fatwa” atau “izin eksperimen” yang memungkinkan inovasi berkembang  tanpa melanggar prinsip syariah. Pembaruan fatwa secara berkala melalui mekanisme adaptif dan tematik, termasuk mencabut fatwa lama yang tidak relevan dan menyusun kerangka fatwa tematik untuk teknologi  baru. Kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan dalam hal ini, antara regulator, ulama, pelaku usaha, dan  akademisi menjadi kunci utama terbentuknya kepastian hukum terhadap semangat inovasi yang  berkembang dalam keuangan syariah. Penguatan lembaga penyelesaian sengketa, termasuk peningkatan  kapasitas hakim di pengadilan agama dalam perkara ekonomi syariah serta pendidikan lintas bidang  diperlukan untuk menyatukan bahasa hukum, syariah, dan teknologi.

Keuangan syariah tidak boleh tercerabut dari akar prinsipnya. Namun, ia juga tak boleh diam saat dunia  bergerak cepat. Masa depan industri ini sangat bergantung pada kemampuan kita menyeimbangkan iman  dengan zaman, antara regulasi yang kokoh dan inovasi yang terus tumbuh Indonesia sebagai negara  mayoritas Muslim dengan populasi terbesar di dunia memiliki peluang besar pusat keuangan syariah global. Namun, itu hanya bisa terjadi jika aturan hukum mampu mengikuti inovasi dan inovasi tetap berjalan dalam  koridor syariah. Keuangan syariah harus bisa menjadi “modern dalam bentuk, syariah dalam prinsip, dan inklusif dalam manfaat”.

Fadhli Chaliq Delvis (1/5/2025)


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *