Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk menghimpun banyak dana, salah satunya dari para wajib zakat, serta dapat membuka kesempatan untuk mendukung keberhasilan program SDGS (Suistainable Development Goals) dimana terdapat 17 tujuan terbaru yang diusung diantaranya yaitu tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan dan kesejahteraan. Sebab pada perkembangannya, terutama di Indonesia, berbagai pihak saling melihat potensi sumber daya pendanaan untuk pencapaian SDGs dari berbagai sektor tak terkecuali zakat.
Namun, untuk mengetahui apakah SDGs dapat diwujudkan melalui zakat, maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan zakat dan SGDs, serta korelasi antara keduanya, termasuk permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia. Karena zakat dan SDGs merupakan dua hal yang berbeda sehingga tidak dapat dibandingkan serta dikorelasikan secara langsung.
Zakat merupakan mekanisme penghambaan seorang Muslim kepada Tuhannya (Allah) yang berdampak pada sosial dan ekonomi masyarakat. Karena ruang lingkup zakat tidak hanya terbatas dalam dimensi ibadah saja, melainkan zakat juga berperan dalam dimensi sosial. Selain itu, zakat merupakan sendi utama dari sistem ekonomi Islam, dimana kewajiban tarif zakat serta pendistribusiannya sudah ditentukan oleh syariat. Kemudian adanya zakat ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, memberantas kemiskinan dan memberikan keadilan bagi mustadháfin atau orang-orang lemah, rentan serta terpinggirkan yang merujuk pada konsep maqasid syariah.
Sementara di sisi lain, SDGs merupakan platform pembangunan global berkelanjutan yang diinisiasi oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dan telah mendapatkan konsensus atau kesepakatan dari 193 negara. SDGs memiliki tujuan untuk menurunkan kemiskinan dan semua turunan persoalannya. Sehingga dari sini dapat disimpulkan bahwa zakat dan SDGs pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama.
Hanya saja dalam Islam, tujuan-tujuan zakat merujuk pada maqashid syariah, sementara SDGs berisi tujuan-tujuan pembangunan. Permasalahannya adalah bagaimanakah posisi SDGs dalam timbangan maqashid syariah? Apabila merujuk pada konsep maqashid syariah Ibn Qayyim, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka SDGs merupakan bagian dari maqashid syariah itu sendiri.
Pada akhirnya, zakat dan SDGs memiliki relevansi yang signifikan karena zakat merupakan instrumen pembangunan ekonomi Islam yang menempatkan maqasid syariah sebagai tujuan pelaksanaanya. Kontribusi zakat dalam mendukung SDGs diperkuat dengan adanya UU No.23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, dimana menyebutkan bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan Masyarakat. Dengan demikian, permasalahan utama yang dihadapi Indonesia sebagai negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, ketimpangan sosial serta kualitas hidup dapat teratasi. Karena jika hal tersebut tidak dapat diatasi maka akan mengurangi nilai keberhasilan program SDGs yang telah dicanangkan oleh negara-negara di dunia dalam sidang PBB.
Oleh karena itu Zakat sering dianggap sebagai sumber daya sekaligus sumber dana potensial di dalam pelaksanaan program-programnya dengan harapan dapat memberi dampak dan perubahan positif bagi mereka yang menerimanya khususnya dalam kerangka pengentasan kemiskinan.
Berdasarkan data yang diolah oleh BAZNAS jumlah penghimpunan nasional mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 2002 hingga 2022. Pertumbuhan Zakat, Infak, Sedekah dan DSKL tahun 2002-2022 memiliki tren yang positif. Pengumpulan tahun 2022 mencapai 22 Triliun rupiah yang artinya mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sebesar Rp.11.881,81 miliar atau pertumbuhan sebesar 84,16 persen dibandingkan tahun 2021.
Untuk mewujudkan SDGs melalui zakat, diperlukan adanya keikutsertaan serta keaktifan orang-orang yang terlibat didalamnya, seperti bagaimana amil zakat mendistribusikan zakat sesuai dengan aturan yang berlaku, kemudian bagaimana orang kaya mengeluarkan hartanya tepat sasaran dan sesuai dengan kadarnya.
Selain itu, tidak semua program SDGs dapat dibiayai dengan menggunakan dana zakat. Pertama, karena zakat memiliki 8 asnaf yang tetap dan disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an sehingga tidak dapat diubah-ubah. Kedua, zakat juga lebih fokus kepada pemenuhan kebutuhan dharuriyyah (primer) walaupun tidak berkonsekuensi pada larangan menyalurkan untuk program yang sifatnya hajiyyah (sekunder). Terakhir, karena dana zakat juga terbatas.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa adanya zakat dalam mewujudkan SDGs di Indonesia akan berhasil jika orang yang terlibat mau turut andil melaksankan program yang telah dirancang, itupun untuk program SDGs dalam bidang peningkatan pertumbuhan ekonomi.
0 Komentar